Pssstt. Jangan berisik, aku sedang diam-diam menatapnya.
Dia, seseorang yang sedang membaca buku di bangku pojok cafe ini. Kamu lihat
kan?
Hati-hati jatuh hati padanya. Dia begitu sederhana dengan
kain penutup kepala dan pakaian panjang menutup sampai mata kaki, pakaian
sehari-harinya selama aku kenal dirinya di kota ini. Aku dengar mereka menyebut
penutup kepalanya dengan jilbab. Memang tak ada yang istimewa dengannya, tapi
ada sesuatu dalam dirinya yang... Mmm...entah apa, yang membuatku....jatuh
hati. Hahaha.
Sebentar, kamu sudah mengenal dia? Kalau belum biar
kuperkenalkan. Dia bernama Dia. Hahaha, kenapa wajahmu bingung? Dia memang
namanya. Aku tidak harus merahasiakan namanya di depan siapapun saat
menceritakannya. Karena dia memang Dia.
Perempuan sederhana yang aku kenal dengan warna jilbab yang
selalu sama setiap hari, entah mengapa. Selalu satu warna: Hitam. Aku kira
mungkin hitam adalah warna favoritnya.
Apa kamu bilang, mengapa tak aku tanyakan langsung padanya?
Ah, jangan bergurau. Aku tak mampu berbicara saat di depannya, lidahku kelu
saat bertatap dengan Dia.
Wajahnya teduh dan selalu tersenyum saat melewatiku, ramah
sekali kan?
Hari ini Dia kembali ke sini, Dia selalu duduk di bagian
pojok ruang cafe ini, sendiri saja. Aku sudah lebih dulu berada di sini, di
tempat yang strategis untuk melihatnya. Sudahlah kawan, kamu tak perlu iri
padaku.
Sebenarnya aku ingin menemaninya, tapi....kau tahulah, harus
cukup nyali untuk mendekati perempuan seanggun dirinya. Aku cukup menatapnya
dari jauh, tanpa harus berkata-kata.
Dia terlihat larut dalam bacaannya. Buku bacaan yang selalu
dia baca. Kamu benar itu adalah buku favoritnya, kitab sucinya. Aaah, aku
benar-benar menikmati saat Dia membacanya meski suaranya tak terdengar. Aku
menyandarkan kepala, meregangkan kaki, dan menatap Dia dari ujung sini. Nyaman
sekali rasanya.
Kamu tau, ingin rasanya aku menghadirkan sejuta warna untuk
Dia selain warna hitam yang selalu dikenakannya. Agar Dia tau bahwa dunia ini
akan lebih indah dengan berjuta warna seperti indahnya langit biru dengan
hadirnya pelangi.
Sebentar, aku mendengar keributan di luar. Banyak orang
berteriak panik, ada suara seseorang yang meminta mereka diam disusul suara
letusan peluru yang dilemparkan ke udara.
Ada apa ini? Aku melihat Dia berdiri dan keluar untuk
melihat keadaan. Hei Dia hati-hati. Aku mencari pintu keluar dan segera
menyusul di samping Dia.
Entah dari mana datangnya, dua orang bersenjata memakai
jaket hitam memaksa masuk ke dalam cafe sambil meneriakkan
"Allahuakbar!" Dia dan semua pengunjung berlari ke dalam.
"Diam! Jangan bergerak!" "Dor!!" Suara
letusan tembakan ke atap.
"Teroris!!" Beberapa pengunjung berteriak
ketakutan.
"Diam!" "Dorr!!" Lagi tembakan senjata
ke langit-langit.
Semua pengunjung dan karyawan cafe panik, security tak
terlihat.
"Pergi kau ke neraka teroris!!" Seorang nenek
mengacungkan pisau steak yang sedang digunakannya. Salah seorang pria berjaket
mengarahkan senjatanya ke arah nenek tadi. Seorang perempuan berjilbab hitam
bergerak cepat ke depan, melindungi nenek tadi. Itu Dia! Berdiri tepat di depan
salah seorang pria bersenjata.
"Islam tidak pernah mengajarkan membunuh manusia tidak
bersalah!" Dia berkata tanpa rasa takut.
"Meneror. Membuat manusia lain merasa tidak aman
bukanlah ajaran Nabi Muhammad!"
"Jangan pernah menjual agama Islam hanya karena
dunia!" Lanjut Dia.
Sekarang senjata diarahkan ke Dia. Pelatuk mulai ditarik
perlahan. Tidak! Aku harus melindungi Dia. Secepat kilat aku menyerang tangan
pria tersebut, membuatnya kehilangan keseimbangan. Senjata tidak lagi terarah
ke Dia. Pria itu melemparku hingga jatuh beberapa meter ke lantai.
Pria lainnya mengarahkan senjata ke Dia, tak akan aku
biarkan. Sekuat tenaga aku bangun dan berlari menyerang wajahnya, pria ini
menjerit kesakitan, aku pastikan mata pria ini terluka. Pria lainnya membantu
dan melemparku dengan lebih keras. Tubuhku terbanting tepat mengenai tembok,
sakit sekali. Mungkin beberapa tulang rusukku patah.
Tapi aku tak boleh menyerah. Dengan sisa tenaga aku
menyerang kembali ke arah wajah pria lainnya. Dia, lari!!
Aku tetap bertahan menyerang wajahnya meski pria ini
berkali-kali berontak. Aku butuh matanya, tanpa mata pria ini tak akan bisa
mengarahkan senjatanya ke arah Dia. Temannya yang lain, dengan luka di wajah
karena seranganku, melempar tubuhku ke sudut tembok. Kepalaku pusing, aku
berusaha membuka mata dan mencari Dia, Dia tak ada. Aku harap Dia dan nenek
tadi sudah berhasil keluar. Napasku turun naik, aku tak bisa lagi bangkit.
Samar-samar mataku menangkap senjata yang diarahkan kepadaku, sedetik kemudian
peluru terlempar dan merobek dadaku. Darah segar mengucur deras. Aku tak
sanggup lagi. Allah, lindungi Dia.
Pandanganku gelap, tapi sebelum menutup mata aku mendengar
makian kesal dua pria bersenjata itu kepadaku.
"Kucing sialan!!"