Kamis, 09 Oktober 2014

Rahasia Umur Panjang dari seorang Nenek Tua di Masjid Taufiq

Aku tak tahu siapa nama nenek itu. Yang aku tau saat aku selesai sholat maghrib beliau mendekatiku dan berkata "Makasih ya, nenek jadi ada temennya sholat di sini. Biasanya nenek sendirian."
Saat itu ada sekitar lima orang yang sholat di tempat khusus wanita.

"Ya ini orang2 yang dari luar yang sholat." Katanya melanjutkan.

"Nenek tinggal di dekat sini?" Tanyaku.

"Rumah nenek jauh di sana. Udah kebakaran dua minggu sebelum idul adha." Jawab si nenek terkekeh.

"Sekarang tinggal di rumah temen." Jawabnya lagi agak malu.

"Terus rumah nenek gimana?"

"Ya habis semua. Gak ada yang tempatin. Nanti bisa dibangun lagi tapi masih lama" Wajahnya tersenyum. Tak ada kesedihan.

Bukan, nenek ini bukanlah seorang nenek atau ibu muda yang menceritakan kesulitannya kemudian meminta-minta uang kepada orang lain.

Sejenak kemudian dari tempat pria ada yang menaruh kue dan minuman ke tempat akhwat, si nenek membagi-bagikan kue dan minum kepada para wanita.

"Ini yasinan udah beberapa tahun, biasanya sepi. Nenek sendirian." Katanya lagi.

"Nenek sering ke sini?"

"Setiap hari." Jawabnya.

Seorang kakek memberikan roti kepada si nenek lewat pembatas pria dan wanita.

Nenek itu berterima kasih, aku tersenyum pada kakek yang memberikan roti, dan beliau balas tersenyum. Nenek bercerita padaku "Bapak itu, anaknya yang punya masjid ini."

"Usianya udah seratus lebih." Lanjutnya.

Aku kaget. "Seratus tahun nek? Tapi masih gagah."

Kakek yang memberikan roti kepada nenek ini memang aku lihat masih gagah.

"Saya sendiri udah sembilan puluh tahun." Kekehnya.

"What? Nenek juga masih gagah." Aku takjub.
Aku pikir nenek ini berusia hampir delapan puluh tahun, ternyata sudah memasuki sembilan puluh tahun.

"Nih masih bisa duduk begini nih nenek." Nenek terkekeh sambil memperlihatkan duduknya yang santai melipat kaki.

"Rahasianya apa nek?" Aku dekati beliau.

"Gak ada." Katanya tersenyum.

"Memang begitu. Ibu nenek juga usianya 120 tahun."

"Tapi nenek jaga makanan?"

"Yaa, nenek mah sarapan apa aja. Ada makanan ya nenek makan."

"Bersyukur ya nek." Aku tersenyum.

"Iya." Senyuman si nenek memperlihatkan giginya yang sudah agak menghitam.

Nenek itu bercerita tentang masa kecilnya di jaman penjajahan.

"Saya gak bisa baca. Karena dulu gak sekolah." Wajahnya agak malu saat bercerita.

Adzan isya berkumandang. Aku memperhatikan nenek yang mundur ke shaf belakang lalu memulai sholat sunnah qabliah.

Setelah selesai isya berjamaah nenek itu pun tak lama melakukan shalat sunnah ba'diah.

Nenek tua di masjid Taufiq depan halte Halimun, Jakarta.

Aku bersyukur memutuskan keluar dari antrian transjakarta yang penuh sesak untuk sholat maghrib di sana.

Nenek tua itu mengajarkanku satu hal. Kebahagiaan tidak didapat dari seberapa banyak harta yang dimiliki, tapi dari seberapa besar hati ikhlas menerima segala ketentuan Illahi.

Semoga Allah selalu memberikan keistiqomahan dan perlindungan terhadap nenek tua yang belum sempat aku tanyakan namanya. :)