Minggu, 17 Januari 2016

CERPEN: Sejuta Warna Untuk Dia.

Pssstt. Jangan berisik, aku sedang diam-diam menatapnya. Dia, seseorang yang sedang membaca buku di bangku pojok cafe ini. Kamu lihat kan?
Hati-hati jatuh hati padanya. Dia begitu sederhana dengan kain penutup kepala dan pakaian panjang menutup sampai mata kaki, pakaian sehari-harinya selama aku kenal dirinya di kota ini. Aku dengar mereka menyebut penutup kepalanya dengan jilbab. Memang tak ada yang istimewa dengannya, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang... Mmm...entah apa, yang membuatku....jatuh hati. Hahaha.

Sebentar, kamu sudah mengenal dia? Kalau belum biar kuperkenalkan. Dia bernama Dia. Hahaha, kenapa wajahmu bingung? Dia memang namanya. Aku tidak harus merahasiakan namanya di depan siapapun saat menceritakannya. Karena dia memang Dia.

Perempuan sederhana yang aku kenal dengan warna jilbab yang selalu sama setiap hari, entah mengapa. Selalu satu warna: Hitam. Aku kira mungkin hitam adalah warna favoritnya.

Apa kamu bilang, mengapa tak aku tanyakan langsung padanya? Ah, jangan bergurau. Aku tak mampu berbicara saat di depannya, lidahku kelu saat bertatap dengan Dia.

Wajahnya teduh dan selalu tersenyum saat melewatiku, ramah sekali kan?
Hari ini Dia kembali ke sini, Dia selalu duduk di bagian pojok ruang cafe ini, sendiri saja. Aku sudah lebih dulu berada di sini, di tempat yang strategis untuk melihatnya. Sudahlah kawan, kamu tak perlu iri padaku.

Sebenarnya aku ingin menemaninya, tapi....kau tahulah, harus cukup nyali untuk mendekati perempuan seanggun dirinya. Aku cukup menatapnya dari jauh, tanpa harus berkata-kata.

Dia terlihat larut dalam bacaannya. Buku bacaan yang selalu dia baca. Kamu benar itu adalah buku favoritnya, kitab sucinya. Aaah, aku benar-benar menikmati saat Dia membacanya meski suaranya tak terdengar. Aku menyandarkan kepala, meregangkan kaki, dan menatap Dia dari ujung sini. Nyaman sekali rasanya.

Kamu tau, ingin rasanya aku menghadirkan sejuta warna untuk Dia selain warna hitam yang selalu dikenakannya. Agar Dia tau bahwa dunia ini akan lebih indah dengan berjuta warna seperti indahnya langit biru dengan hadirnya pelangi.

Sebentar, aku mendengar keributan di luar. Banyak orang berteriak panik, ada suara seseorang yang meminta mereka diam disusul suara letusan peluru yang dilemparkan ke udara.

Ada apa ini? Aku melihat Dia berdiri dan keluar untuk melihat keadaan. Hei Dia hati-hati. Aku mencari pintu keluar dan segera menyusul di samping Dia.

Entah dari mana datangnya, dua orang bersenjata memakai jaket hitam memaksa masuk ke dalam cafe sambil meneriakkan "Allahuakbar!" Dia dan semua pengunjung berlari ke dalam.

"Diam! Jangan bergerak!" "Dor!!" Suara letusan tembakan ke atap.

"Teroris!!" Beberapa pengunjung berteriak ketakutan.

"Diam!" "Dorr!!" Lagi tembakan senjata ke langit-langit.

Semua pengunjung dan karyawan cafe panik, security tak terlihat.

"Pergi kau ke neraka teroris!!" Seorang nenek mengacungkan pisau steak yang sedang digunakannya. Salah seorang pria berjaket mengarahkan senjatanya ke arah nenek tadi. Seorang perempuan berjilbab hitam bergerak cepat ke depan, melindungi nenek tadi. Itu Dia! Berdiri tepat di depan salah seorang pria bersenjata.

"Islam tidak pernah mengajarkan membunuh manusia tidak bersalah!" Dia berkata tanpa rasa takut.

"Meneror. Membuat manusia lain merasa tidak aman bukanlah ajaran Nabi Muhammad!"

"Jangan pernah menjual agama Islam hanya karena dunia!" Lanjut Dia.

Sekarang senjata diarahkan ke Dia. Pelatuk mulai ditarik perlahan. Tidak! Aku harus melindungi Dia. Secepat kilat aku menyerang tangan pria tersebut, membuatnya kehilangan keseimbangan. Senjata tidak lagi terarah ke Dia. Pria itu melemparku hingga jatuh beberapa meter ke lantai.
Pria lainnya mengarahkan senjata ke Dia, tak akan aku biarkan. Sekuat tenaga aku bangun dan berlari menyerang wajahnya, pria ini menjerit kesakitan, aku pastikan mata pria ini terluka. Pria lainnya membantu dan melemparku dengan lebih keras. Tubuhku terbanting tepat mengenai tembok, sakit sekali. Mungkin beberapa tulang rusukku patah.
Tapi aku tak boleh menyerah. Dengan sisa tenaga aku menyerang kembali ke arah wajah pria lainnya. Dia, lari!!

Aku tetap bertahan menyerang wajahnya meski pria ini berkali-kali berontak. Aku butuh matanya, tanpa mata pria ini tak akan bisa mengarahkan senjatanya ke arah Dia. Temannya yang lain, dengan luka di wajah karena seranganku, melempar tubuhku ke sudut tembok. Kepalaku pusing, aku berusaha membuka mata dan mencari Dia, Dia tak ada. Aku harap Dia dan nenek tadi sudah berhasil keluar. Napasku turun naik, aku tak bisa lagi bangkit. Samar-samar mataku menangkap senjata yang diarahkan kepadaku, sedetik kemudian peluru terlempar dan merobek dadaku. Darah segar mengucur deras. Aku tak sanggup lagi. Allah, lindungi Dia.

Pandanganku gelap, tapi sebelum menutup mata aku mendengar makian kesal dua pria bersenjata itu kepadaku.

"Kucing sialan!!"